Friday, October 10, 2014

Makna Asmaul Husna ( Al – Kariim, Al – Mu’min, Al - Wakiil, Al – Matiin, Al – Jaami, Al – ‘Adl, dan Al – Aakhir )

A.        Makna Al – Karim ( Yang Maha Mulia)
Orang yang masih dalam perjalanan sangat teringin untuk cepat sampai kepada Allah s.w.t. Dia terpesona melihat keadaan orang-orang yang telah sampai. Kadang-kadang timbul rasa tidak sabar untuk ikut sama sampai kepada tujuannya. Perasaan tidak sabar akan menimbulkan harapan atau cita-cita agar ada seseorang yang dapat menolong mengangkatnya. Orang yang diharapkan itu mungkin terdiri daripada mereka yang telah sampai atau mungkin juga dia menaruh harapan kepada wali-wali ghaib dan malaikat-malaikat. Maksud dan tujuannya tidak berubah, iaitu sampai kepada Allah s.w.t tetapi dalam mencapai maksud itu sudah diselit dengan harapan kepada selain-Nya. Ini bermakna sifat bertawakal dan berserah dirinya sudah bergoyang. Sebelum dia terjatuh, Hikmat 47 ini menariknya supaya berpegang kepada al-Karim. Walau kepada siapa pun diletakkan harapan namun, harapan dan orang berkenaan tetap mencari al- Karim. Tidak ada harapan dan cita-cita yang dapat melepasi al-Karim.
 Al-Karim adalah salah satu daripada Asma-ul-Husna. Nama ini memberi pengertian istimewa tentang Allah s.w.t. Al-KariIm bermaksud:

1. Allah s.w.t Maha Pemurah.
2. Allah s.w.t memberi tanpa diminta.
3. Allah s.w.t memberi sebelum diminta.
4. Allah s.w.t memberi apabila diminta.
5. Allah s.w.t memberi bukan kerana permintaan, tetapi cukup sekadar harapan, cita-cita dan angan-angan hamba-hamba-Nya. Dia tidak mengecewakan harapan mereka.
6. Allah s.w.t memberi lebih baik daripada apa yang diminta dan diharapkan oleh para hamba-Nya.
7. Allah Yang Maha Pemurah tidak kedekut dalam pemberian-Nya. Tidak dikira berapa banyak diberi-Nya dan kepada siapa Dia memberi.
8. Paling penting, demi kebaikan hamba-Nya sendiri, Allah s.w.t memberi dengan bijaksana, dengan cara yang paling baik, masa yang paling sesuai dan paling bermanafaat kepada si hamba yang menerimanya.
            Berikut firman Allah :
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
“Wahai manusia, apa yang telah memperdayai kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithaar: 6).

B.        Makna Al – Mu’min ( Yang Maha Terpercaya )

1. Pengertian
Sifat Allah Al – Mu’min artinya "Allah Maha Pemberi Keamanan". Keamanan merupakan kebutuhan penting bagi manusia. Kehidupan akan terasa nyaman dan berjalan semestinya karena adanya keamanan. Negara yang tidak aman sulit melaksanakan pembangunan. Kehidupan masyarakat akan terancam bila tidak ada keamanan. Kita lihat bagaimana negara yang sedang dalam peperangan.
Keamanan dan rasa aman yang kita peroleh tidak terlepas dari kekuasaan Allah. Ketenangan hati hanya didapat bila kita dekat denmgan Allah, rajin membaca Al - Qur'an, rajin sholat, dan lain - lain. Ketidak nyamanan bukan hanya akibat ulah manusia tapi bisa juga karena binatang buas, bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan lain - lain. Ada orang yang merasa tidak aman walaupun situasinya aman dan tentram. Sebaliknya ada orang yang merasa, tenang, tidak gelisah walaupun situasi dan keadaan genting dan kacau.
                                                                                                
2. Contoh dan bukti sederhana 
Contoh dan bikti sederhana bahwa Allah bersifat Al – Mu’min dapat kita lihat dalam diri kita sendiri. Seperti pada tubuh kita, Allah menciptakan alis di atas mata yang berfungsi melindungi mata dari keringat yang jatuh, bulu mata melindungi mata dari debu dan binatang - binatang kecil.

Bukti lain diluar tubuh kita seperti ketika Rasulullah ingin Hijrah dari Mekkah ke kota Madinah. Pada malam keberangkatan Nabi Muhammad, sekeliling rumah Nabi telah di pagar betis oleh orang - orang Quraisy yang ingin membunuh Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi dengan sifat Al - Mukmin Allah telah memberi keselamatan kepada Rasulullah. Rasulullah dengan aman dapat keluar dari rumah dan meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah.

Orang yang beriman kepada Allah Al – Mu’min akan selalu tenang dan tidak gegabah dalam menghadapi setiap keadaan dan situasi yang genting dan kacau sekalipun.

3. Meneladani Sifat Al Mu'min

·                     Menenangkan teman yang sedang merasa takut
·                     Tidak mengganggu teman
·                     Menjaga diri sendiri dari ancaman dan gangguan orang atau makhluk lain
·                     Tidak takut kepada apapun, kecuali kepada Allah

4. Kesimpulan
Sifat Allah Al Mu'min ini menerangkan bahwa Allah memberi rasa aman dan tenteram dalam hati hamba-Nya. Polisi, tentara, dan satpam mencoba meneladani sifat Al Mu'min ini dengan menjaga keamanan lingkungan.Jadi jika kita ingin selalu aman dan tentram, kita harus selalu ingat kepada Allah Swt. karena Allah memberi rasa aman dan ketentraman dalam hati hambah-Nya. 

C.        Makna Al – Wakiil ( Yang Maha Mewakili / Pemelihara)
Al – Wakiil artinya Dzat yang maha memelihara, yaitu Dia yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhlukNya, baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.

Allah memerintahkan agar kita bersifat :
1.   Beriman dan bertakwa kepada Allah SWT
2.   Mempelajari dan memahami Al-Quran/Hadist
3.   Memegang amanah dengan sebaik-baiknya
4.   Menjadikan Allah SWT sebagai satusatunya pelindung
5.   Hanya menyembah dan meminta pertolongan kepada Allah SWT

Berikut firman Allah :


1. QS. 'Ali `Imran [3] : 173
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدْ جَمَعُوا۟ لَكُمْ فَٱخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَٰنًاوَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ

 Artinya : (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung".

2. QS. Al-An'am (Al-An'am) [6] : ayat 102
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لا إِلَهَ إِلا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ 

 Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.

3. QS. Az-Zumar [39] : ayat 62
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Artinya :  Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.

D.        Makna Al – Matiin ( Yang Mahakokoh )
Al – Matiin Artinya Dzat yang sangat kokoh, yaitu Dia sangat kokoh dan berkekuatan yang tidak pernah luntur. Kokoh diatas segala-galanya diseluruh kekuasaanNya.
Kekukuhan Allah yang memiliki rahmat dan azab terbukti ketika Allah memberika rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya tidak ada apapun yang dapat menghalangi rahmat ini untuk tiba kepada sasarannya. Demikian juga tidak ada kekuatan yang dapat mencegah pembalasan NYA. Kemurkaan dan azab NYA akan mengenai sasaran tanpa meleset sedikitpun atau sekali pun.
Melalui sifat ini, Allah memerintahkan agar manusia memiliki sifat seperti  :

1.       Hanya menyembah Allah SWT yang maha kokoh
2.       Selalu berprasangka baik kepada Allah SWT
3.       Tidak enggan beribadah untuk kepentingan sendiri
4.       Memohon rezeki hanya kepada Allah SWT
5.       Menjaga diri sendiri dengan baik dan benar

Firman Allah SWT :

1. Al-A’raf ayat 183
وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

Artinya : Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.

2. Az-Zariyat ayat 58
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Artinya : Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.

E.        Makna Al – Jami’ ( Yang Maha Mengumpulkan)
Jami’ berasal dari kata jama’ah yang artinya kumpulan, lebih dari satu, banyak. Allah bersifat al-Jami’ artinya Allah maha mengumpulkan/mempersatukan.
Selain Allah akan mengumpulkan kita nanti pada hari kiamat, Allah al-jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini.
Ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari asma Allah al-Jami’.
Pertama Allah akan mengumpulkan kita nanti pada hari Akhir.
 Kedua, sebagai khalifah, wakil yang dipercaya Allah untuk mengatur kehidupan alam semesta ini. Kita harus membumikan al-Jami’ dalam kehidupan. Kita harus menjadi katalisator untuk terbentuknya persatuan dan kesatuan mahkluk-makhluk Allah sehingga menjadi satu kesatuan sIstem kehidupan yang harmonis dan saling membutuhkan. Jagalah persatuan dan kesatuan sistem kehidupan, bertanggungjawablah pada tugas dan fungsi masing-masing. Jangan merasa diri yang paling baik dan paling benar. Karena hanya Allah yang bisa memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Jangan sok tahu dengan menghakimi orang lain salah, dan kemudian kita menarik diri dari tugas dan fungsi kita dalam system kehidupan.

Berikut firman Allah :

1. QS. Aali 'Imran (Ali 'Imran) [3] : ayat 9

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.

  2. QS. An-Nisaa' (An-Nisa') [4] : ayat 140
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam,

F.         Makna Al – ‘Adl ( Yang Maha Adil )
Kata ini adalah kata dasar, di mana Allah menyifatkan diri-Nya sebagai sifat mubalaghah, yakni bersifat adil yang sempurna. Dia bersih dari sifat aniaya, baik dalam hukum-Nya maupun dalam perbuatan-Nya. Di antara hukum-Nya mengenai hak hamba-hamba-Nya adalah, bahwasanya tidak ada bagi manusia itu kecuali apa yang dia usahakan, dan bahwa hasil dari segala usahanya itu akan dilihatnya. Sesungguhnya orang-orang yang saleh berada di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, dan bahwa orang-orang durhaka akan dimasukkan ke dalam api neraka jahanam.
Berikut adalah firman Allah tentang berlaku adil :
1.      “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ...” (an-Nahl: 90)
2.      “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil”. (al-Ma’idah: 8)
Kata ‘adl  adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan –  wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf  ‘ain (عَيْن), dâl (دَال), dan lâm (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’. Se mentara itu, pakar lain men definisikan kata‘adl  dengan ‘penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya’. Ada juga yang menyatakan bahwa  ‘adl  adalah ‘memberikan hak kepada pemilik nya melalui jalan yang terdekat’. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’.
Kata ‘adl (عَدْل) di dalam berbagai bentuk nya terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebut kan 13 kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123, dan 282 (dua kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa —paling tidak— ada empat makna keadilan.
Pertama, ‘adl di dalam arti ‘sama’. Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adldengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya ditegas kan, Wa izâ hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi al-‘adl (وَاِذَاحَكَمْتُمْبَيْنَالنَّاسِاَنْتَحْكُمُوْابِالْعَدْلِ = Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl  di dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, ke sungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhawi bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Kedua, ‘adl di dalam arti ‘seimbang’. Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-sawwâka fa-‘adalaka (اَلَّذِىْخَلَقَكَفَسَوَّاكَفَعَدَلَكَ = [Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan men jadi kan [susunan tubuh]mu seimbang). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan ke hadiran nya. Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui mencipta kan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna men capai tujuan. Keyakinan ini nantinya meng antarkan kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’.
Ketiga, ‘adl di dalam arti ‘perhatian ter hadap hak-hak individu dan memberi kan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya’. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’. Lawannya adalah ‘kezaliman’, yakni pelanggar an terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (وَاِذَاقُلْتُمْفَاعْدِلُوْاوَلَوْكَانَذَاقُرْبَى = Dan apabila kamu berkata maka hendak­lah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial.
Keempat, ‘adl di dalam arti ‘yang dinisbah kan kepada Allah’. ‘Adl di sini berarti ‘memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke mungkin an untuk itu’. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. آli ‘Imrân [3]: 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (قَائِمًابِِالْقِِسْط = Yang menegakkan ke adilan).
Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga di dalam berbagai arti, yakni (1) ‘kebenaran’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandar kan perbuatan kepada selain Allah dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutukan Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 1 dan 150; (4) ‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm [6]: 70.
‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل) merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Dalam pada itu, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini—setelah meyakini keadilan Allah—dituntut untuk me negak kan ke adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
Perbuatan Allah Yang Tergolong Asmaul Husnah :
1.      Menciptakan alam semesta beserta isinya
2.      Dapat menkukr Dosa manusia
3.      Selalu menjadi hakim yang adil

Contoh perbuatan yang mencerminkan Al’adl :
1.      Tidak membedakan-bedakan sesuatu
2.      Memberi tugas dengan adil
3.      Dalam menghadapi masalah harus diselesaikan dengan melihat yang salah dan benar
4.      Dalam membagi sesuatu harus adil


Cara kita untuk mewujudkanya adalah dengan melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin dan selalu ingat Allah swt  serta jangan mementinkan kelompok tertentu saja tanpa memikirkan mana yang harusnya dilakukan.

G.        Makna Al – Akhir (  Yang Maha Akhir )

Asma Allah Al-Akhir berarti Dzat Yang Maha Akhir. Maha Akhir disini dapat diartikan bahwa Allah SWT adalah Dzat yang paling kekal. Tidak ada sesuatu pun setelah-Nya. Tatkala semua makhluk, bumi seisinya hancur lebur, Allah SWT tetap ada dan kekal. Pemahaman tentang Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Akhir ini tidak bisa disamakan dengan pengertian bahwa Allah adalah akhir dari segala-galanya. Inilah yang membedakan antara Allah SWT sebagai Sang Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan). Makhluk mempunyai awal yang berupa penciptaannya dan mempunyai akhir pada saat dia sudah hancur atau mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27 sebagai berikut. Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27)
Sebagai Dzat Yang Maha Akhir, Allah SWT akan tetap abadi dan kekal. Keabadian dan kekekalan Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa Dialah satu-satunya tempat bergantung atas segala urusan kita, baik urusan di dunia maupun urusan-urusan yang akan kita bawa sampai ke akhirat kelak. Sungguh sangat merugi orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada selain Allah. Karena sesungguhnya setiap yang ada di langit dan bumi ini akan hancur. Akan tetapi jika kita bersandar penuh pada Sang Maha Kekal, pastinya kita tidak akan hancur dan terjerumus dalam kesesatan. Karena sandaran kita tidak akan pernah hancur dan Maha Mengatur segala hal yang terjadi pada hidup kita. Dialah tujuan dan tempat bergantung yang paling utama atas segala urusan makhluk-Nya, baik berupa ibadah, harapan, rasa takut, harapan, keinginan, dan lain-lain. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hadid (57) ayat 3: Artinya: Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Hadid (57) : 3)
Orang yang mengakui bahwa Allah adalah Al-Akhir akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup selain-Nya, tidak ada permintaan kepada selain-Nya, dan segala kesudahan tertuju hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, jadikanlah akhir kesudahan kita hanya kepada Allah SWT. Karena sesungguhnya akhir kesudahan hanya kepada Rabb kita, seluruh sebab dan tujuan jalan akan berujung kepada Allah semata.



            Contoh sederhana Al – Akhiir :
Sebagai Dzat Yang Maha Akhir, Allah SWT akan tetap abadi dan kekal. Keabadian dan kekekalan Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa Dialah satu-satunya tempat bergantung atas segala urusan kita, baik urusan di dunia maupun urusan-urusan yang akan kita bawa sampai ke akhirat kelak. Aplikasi dari Asma Al-Aakhir dalam pebelajaran adalah berdoa sebelum dan setelah pembelajaran di kelas. Siswa menunjukkan penyerahan diri kepada Allah SWT bahwa mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan sebuah kemudahan dalam menyerap pengetahuan dari pembelajaran kepada Allah SWT. Selalu mengu-capkan basmallah juga menunjukkan bahwa siswa-siswa menggantungkan doa agar aktivitas mereka selalu berada dalam lindungan Allah SWT dan berharap agar mendapatkan safaat dan manfaat dari aktivitasnya.

9 comments: